“KASUS KEWARGANEGARAAN”
PERCERAIAN
oleh:
LA ZEKI
2014-71-0
MK : PANCASILA
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur
seraya penyusun panjatkan ke hadirat tuhan yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya sehinnga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“KASUS KEWARGANEGARAAN PERCERAIAN”.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah pancasila. Adapun isi
dari makalah yaitu menjelaskan tentang masalah-masalah tentang
PERCERAIN.
Penyusun berterima kasih
kepada Ibu dosen mata kuliah pancasila yang telah
memberikan arahan serta bimbingan, dan juga kepada semua pihak yang telah
membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan makalah ini.
Seperti pepatah mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”. Penyusun menyadari
makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata karena keterbatasan
kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penyusun harapkan saran
dan kritik yang positif dan membangun dari semua pihak agar makalah ini menjadi
lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.
AMBON, 10
JANUARI 2015
Penyusun
Daftar
isi
KATA PENGANTAR
.................................................................................................
i
DAFTAR ISTRI
.........................................................................................................
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
....................................................................................................1
B. RUMUSAN
MASALAH ...............................................................................................1
C. TUJUAN
PENULISAN
................................................................................................2
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DASAR
TEORI ...........................................................................................................3
B. PEMBAHASAN
..........................................................................................................5
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
............................................................................................................8
B. SARAN
.......................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terjadi di negara-negara
berkembang merupakan salah satu pemicu terjadinya migrasi. Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari
sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi
perkawinan yang mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan
derajat. Asas Kesatuan Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri
ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana
sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga yang baik perlu mencerminkan
adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-isteri,
maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan
pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama
tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing
tidak dapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan
keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan
tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik
suami ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain
sekalipun sudah menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki status
kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum dikatakan menjadi
suami isteri.
Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang
berkewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan
pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan
orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka ia
menceraikan isterinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini,
banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan
kewarganegaraannya.
Dalam permasalahan perceraian, kasus yang sedang diperbincangkan saat ini adalah perceraian seseorang bernama NY. SURTIATI WU Warga
Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias
WU CHIA HSIN. Segala permasalahan
yang terjadi pada surtiati ini dapat diselesaikan dengan perencanaan yang
matang. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menunjang keamanan atas
dirinya serta dengan memperbaiki mekanisme
pengawasan dalam penempatan warga negara. Dengan demikian, kualitas perlindungan negara terhadap warganya akan
meningkat
juga hasil dari perbaikan sistem yang
dilakukan akan meminimalisir kasus-kasus pelanggaran lainnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di
atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan warga negara?
2.
siapakah yang akan diberikan hak asuh anak pada saat perceraian?
3.
Faktor
apa saja yang menyebabkan perceraian?
4.
Bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus perceraian ini?
C.
TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk memaparkan hal sebagai berikut.
1.
Untuk memberikan pengetahuan tentang apa itu warga negara.
2.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang keadaan
. siapakah yang akan diberikan hak asuh anak pada
saat perceraian.
3.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya kasus perceraian.
4.
Untuk mengetahui bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DASAR TEORI
Warga
negara diartikan dengan orang-orang sebagai dari suatu penduduk yang menjadi
unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula
negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang
merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena warga
negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni
peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk
itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan
dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa warga negara yang
merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah
komunitas yang membentuk negara itu sendir. Istilah ini menurutnya lebih baik
ketimbang istilah kawula negara, karena kawula negara betul-betul
berarti objek yang dalam bahasa Inggris (object) berarti orang yang
dimiliki dan mengabdi kepada pemiliknya.
Secara
singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan anggota negara.
Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus
terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat
timbal balik terhadap negaranya.
Dalam
konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26)
dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan
undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26
ini, dinyatakan bahwa oarang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan
Belanda, pernakan Cina, peranakan Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di
Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Selain
itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga negara
Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan /
atau perjanjian-perjanjian dan / atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak
proklamasi 17 agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.
Sebelum kita bicara masalah hak asuh anak dan
perceraian , maka kita harus tahu dulu mengenai proses yang mendahuluinya,
yaitu perkawinan. Karena tanpa perkawinan tidak mungkin ada perceraian.
Jadi apa itu perkawinan itu?
Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat – akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.
Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut.
Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.
Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh. Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.”
Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), terdapat istilah ”Kuasa Asuh” yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”
Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak. Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
“Dalam hal terjadi perceraian :
a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama).
Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat – akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.
Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut.
Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.
Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh. Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.”
Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), terdapat istilah ”Kuasa Asuh” yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”
Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak. Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
“Dalam hal terjadi perceraian :
a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama).
Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
B.
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan kasus yang
akan dibahas adalah, kasus perceraian seseorang bernama NY. SURTIATI WU Warga
Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias
WU CHIA HSIN.
Pada awalnya Ada
seseorang bernama NY. SURTIATI WU Warga Negara Indonesia melakukan
perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah
dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah
dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika
Serikat yang bernama Alice dan Denise tahun 1986 dan 1987.
Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Hal ini
disebabkan karena dari pihak sang istri tidak dapat melakukan kewajiban
semestinya, sifatnya kasar, dan keras kepala. Ketidakharmonisan tersebut
akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar
hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat
keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.
Mengingat tahun kelahiran
kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah
undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga
Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan
kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah
di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa
Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti
dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny
Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan
mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan
ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan
kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus
apatride atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr.
Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan
“ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat
kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr.
Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta.
Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang
berbeda.
Berdasarkan Pasal 1 b UU
No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka,
yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika
Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka,
yaitu Indonesia. Maka hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi
apatride. Akan tetapi UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana
terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus
seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan
permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak
tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan cara
pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya
sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan
ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang
anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau
surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan
dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada
Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice
dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu
mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.
Sedangkan mengenai putusan
perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku
dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang
sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan
dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari
dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang
perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar
apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr.
Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan
Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh
pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa
mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan
tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan
lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat
(Dr. Charlie Wu). Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum
dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi. Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi. Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap
perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian
latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang
kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr
Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk
perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah
memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di
Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh
Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU
Kewarganegaraan.
Dengan demikian setiap
orangtua berkewajiban memelihara anak-anaknya. Pemeliharaan anak tersebut
mencakup segala hal. Mulai dari makanan, tempat tinggal, kebutuhan hidup
sehari-hari, pendidikan, bahkan sampai kepada perkembangan psikologis
anak.
Pasal 41 huruf a
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan:
“…Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak;…”
Berdasarkan hal tersebut di
atas, saudara dapat meminta secara baik-baik kepada mantan istri untuk
menyerahkan hak asuh anak tersebut kepada Saudara.
Selain itu berdasarkan
ketentuan Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
saudara juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mencabut hak asuh
dari mantan Istri saudara, yang lebih lengkapnya berbunyi :
(1)
Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
1.
a.
Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
2.
b.
Ia berkelakuan buruk sekali.
(2)
Meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Alasan yang dapat Saudara ajukan adalah
karena mantan istri Saudara sering memukul anak Saudara dan memberi contoh
tidak baik kepada anak Saudara. Namun yang harus diingat ialah tentunya Anda
harus dapat membuktikan di depan pengadilan jika betul mantan istri Anda telah
melalaikan kewajibannya sebagai orangtua ataupun berkelakuan buruk yang
berdampak negatif untuk perkembangan anak Anda.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Permasalahan yang menimpa sutriati ini
merupakan tanggung jawab bersama, baik dari pemerintah dengan pembenahan sistem
dan mekanismenya maupun warga negara Indonesia terutama yang sudah berumah
tangga.
NY, sutriati hanyalah sepotong contoh
kasus permasalahan perceraian. Selanjutnya, guna mencegah meningkatnya
kasus-kasus serupa maka diperlukan suatu pembenahan secara konkret dari
pemerintah, agar kasus-kasus tersebut tidak terulang kembali.
B.
SARAN
Dalam penulisan makalah ini tidak
dijelaskan secara eksplisit prosedur penempatan dan perlindungan TKI mulai dari
pra pemberangkatan, pemberangkatan, dan pasca pemberangkatan. Meskipun
demikian, diharapkan dengan hasil analisis terhadap kasus Satinah ini dapat
dijadikan acuan setidaknya pengambilan sikap yang tepat dari para aspek yang
terlibat agar meminimalisisr kasus-kasus penyiksaan TKI yang sudah menyalahi
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
Cranston, Maurice.(1972). Hak-hak asasi Manusia Masa
Sekarang. Jakarta: Gramedia.
Direktorat
PSMP (2006). Perlindungan dan Penegakan HAM.
Naskah Buku Siswa.
Jakarta:
Depdiknas Dikdasmen Direktorat PSMP (Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama).
Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
Zaidan, Abdul Karim.(1983). Hak-Hak Rakyat dan Kewajiban
Negara
Soemarsono
Mestoko dan Udin Syaripudin W, (1981), Pengantar
Pendidikan Moral
Pancasila dan Sejarah Nasional
Indonesia Buku ke satu, Jurusan PKn
dan
Hukum FKIS IKIP Bandung.
Merdeka.com
- cara terbaik
untuk menghindari perceraian dalam pernikahan, seperti dilansir Boldsky.
Lisa Suroso/SUARA BARU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar