Senin, 04 Mei 2015

MAKALAH KASUS KEWARGANEGARAAN PERCERAIAN

MAKALAH
“KASUS KEWARGANEGARAAN”
PERCERAIAN  

UNPATTIWHITE.jpglogo-uin-suka-baru-warna

oleh:
LA ZEKI
2014-71-0
MK : PANCASILA

JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
2015 


KATA PENGANTAR

Segala  puji  dan  syukur  seraya  penyusun panjatkan ke hadirat tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehinnga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KASUS KEWARGANEGARAAN PERCERAIAN”.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pancasila.  Adapun  isi  dari  makalah  yaitu menjelaskan tentang masalah-masalah tentang PERCERAIN.
Penyusun  berterima  kasih  kepada  Ibu dosen  mata  kuliah  pancasila yang  telah memberikan arahan serta bimbingan, dan juga kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan makalah ini. Seperti pepatah mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penyusun harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.





AMBON, 10 JANUARI 2015

Penyusun
Daftar isi


KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISTRI ......................................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG ....................................................................................................1

B.     RUMUSAN MASALAH ...............................................................................................1


C.     TUJUAN PENULISAN ................................................................................................2

BAB II
PEMBAHASAN
A.     DASAR TEORI ...........................................................................................................3

B.     PEMBAHASAN ..........................................................................................................5

BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN ............................................................................................................8

B.     SARAN .......................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................9

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.            LATAR BELAKANG
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terjadi di negara-negara berkembang merupakan salah satu pemicu terjadinya migrasi. Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas Kesatuan Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.

            Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-isteri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak dapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.

            Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum dikatakan menjadi suami isteri.

            Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka ia menceraikan isterinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.

Dalam permasalahan perceraian, kasus yang sedang diperbincangkan saat ini adalah perceraian seseorang bernama NY. SURTIATI  WU Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN. Segala permasalahan yang terjadi pada surtiati ini dapat diselesaikan dengan perencanaan yang matang. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menunjang keamanan atas dirinya serta dengan memperbaiki mekanisme pengawasan dalam penempatan warga negara. Dengan demikian, kualitas perlindungan negara terhadap warganya akan meningkat juga hasil dari perbaikan sistem yang dilakukan akan meminimalisir kasus-kasus pelanggaran lainnya.

B.            RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Apa yang dimaksud dengan warga negara?
2.      siapakah yang akan diberikan hak asuh anak pada saat perceraian?
3.      Faktor apa saja yang menyebabkan perceraian?
4.      Bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus perceraian ini?

C.           TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan hal sebagai berikut.
1.      Untuk memberikan pengetahuan tentang apa itu warga negara.
2.      Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang keadaan .      siapakah yang akan diberikan hak asuh anak pada saat perceraian.
3.      Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya kasus perceraian.
4.      Untuk mengetahui bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus perceraian.























BAB II
PEMBAHASAN

A.            DASAR TEORI

Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.

Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendir. Istilah ini menurutnya lebih baik ketimbang istilah kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti objek yang dalam bahasa Inggris (object) berarti orang yang dimiliki dan mengabdi kepada pemiliknya.

Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.

Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD  1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa oarang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, pernakan Cina, peranakan Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.

Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan / atau perjanjian-perjanjian dan / atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.

Sebelum kita bicara masalah hak asuh anak dan perceraian , maka kita harus tahu dulu mengenai proses yang mendahuluinya, yaitu perkawinan.  Karena tanpa perkawinan tidak mungkin ada perceraian. Jadi apa itu perkawinan itu?

Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat – akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan  ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:

a.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b.    Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.

Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari  pemeliharaan dan pendidikan  dari anak tersebut.

Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.

Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh.  Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.”

Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.

Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),  terdapat istilah ”Kuasa Asuh”  yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”

Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”

Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak.  Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:

“Dalam hal terjadi perceraian :
a)    pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b)    pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c)    biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama).

Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
B.            PEMBAHASAN

Dalam pembahasan kasus yang akan dibahas adalah, kasus perceraian seseorang bernama NY. SURTIATI  WU Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN.
Pada awalnya Ada seseorang bernama NY. SURTIATI  WU Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise     tahun 1986 dan 1987. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Hal ini disebabkan karena dari pihak sang istri tidak dapat melakukan kewajiban semestinya, sifatnya kasar, dan keras kepala. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.
Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus apatride atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan Pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Maka hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi apatride. Akan tetapi UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan cara pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.
Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu). Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi. Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU Kewarganegaraan.
Dengan demikian setiap orangtua berkewajiban memelihara anak-anaknya.  Pemeliharaan anak tersebut mencakup segala hal. Mulai dari makanan, tempat tinggal, kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan, bahkan sampai kepada perkembangan psikologis anak. 
Pasal 41 huruf a Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan:
“…Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;…”
Berdasarkan hal tersebut di atas, saudara dapat meminta secara baik-baik kepada mantan istri untuk menyerahkan hak asuh anak tersebut kepada Saudara.
Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saudara juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mencabut hak asuh dari mantan Istri saudara, yang lebih lengkapnya berbunyi :
(1) Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
1.    a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
2.    b. Ia berkelakuan buruk sekali.
 (2) Meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Alasan yang dapat Saudara ajukan adalah karena mantan istri Saudara sering memukul anak Saudara dan memberi contoh tidak baik kepada anak Saudara. Namun yang harus diingat ialah tentunya Anda harus dapat membuktikan di depan pengadilan jika betul mantan istri Anda telah melalaikan kewajibannya sebagai orangtua ataupun berkelakuan buruk yang berdampak negatif untuk perkembangan anak Anda.




BAB III
PENUTUP
A.            KESIMPULAN

Permasalahan yang menimpa sutriati ini merupakan tanggung jawab bersama, baik dari pemerintah dengan pembenahan sistem dan mekanismenya maupun warga negara Indonesia terutama yang sudah berumah tangga.
NY, sutriati hanyalah sepotong contoh kasus permasalahan perceraian. Selanjutnya, guna mencegah meningkatnya kasus-kasus serupa maka diperlukan suatu pembenahan secara konkret dari pemerintah, agar kasus-kasus tersebut tidak terulang kembali.


B.            SARAN

Dalam penulisan makalah ini tidak dijelaskan secara eksplisit prosedur penempatan dan perlindungan TKI mulai dari pra pemberangkatan, pemberangkatan, dan pasca pemberangkatan. Meskipun demikian, diharapkan dengan hasil analisis terhadap kasus Satinah ini dapat dijadikan acuan setidaknya pengambilan sikap yang tepat dari para aspek yang terlibat agar meminimalisisr kasus-kasus penyiksaan TKI yang sudah menyalahi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.





















DAFTAR PUSTAKA


Cranston, Maurice.(1972). Hak-hak asasi Manusia Masa Sekarang. Jakarta: Gramedia.

Direktorat PSMP (2006). Perlindungan dan Penegakan HAM. Naskah Buku Siswa.
Jakarta: Depdiknas Dikdasmen Direktorat PSMP (Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama).

Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.

Zaidan, Abdul Karim.(1983). Hak-Hak Rakyat dan Kewajiban Negara

Soemarsono Mestoko dan Udin Syaripudin W, (1981), Pengantar Pendidikan Moral
Pancasila dan Sejarah Nasional Indonesia Buku ke satu, Jurusan PKn dan
Hukum FKIS IKIP Bandung.

Merdeka.com - cara terbaik untuk menghindari perceraian dalam pernikahan, seperti dilansir Boldsky.

Lisa Suroso/SUARA BARU





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar